Skip to main content

TERJEMAH, TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH



BAB I
PENDAHULUAN

1.1       LATAR BELAKANG
Al-Qur'an seperti diyakini kaum muslim merupakan kitab hidayah, petunjuk bagi manusia dalam membedakan yang haq dengan yang batil. Dalam Al-Qur'an itu sendiri menegaskan beberapa sifat dan ciri yang melekat dalam dirinya, di antaranya bersifat transformatif. Yaitu membawa misi perubahan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan, Zhulumat (di bidang akidah, hukum, politik, ekonomi, sosial budaya dll) kepada sebuah cahaya, Nur petunjuk ilahi untuk menciptakan kebahagiaan dan kesentosaan hidup manusia, dunia-akhirat. Dari prinsip yang diyakini kaum muslim inilah usaha-usaha manusia muslim dikerahkan untuk menggali format-format petunjuk yang dijanjikan bakal mendatangkan kebahagiaan bagi manusia.
Maka dari pernyataan itu pulalah, konsep tentang manusia dan identitasnya dalam menjabarkan misi kekhalifahan dan ubudiyyah di muka bumi menjadi penentu yang determinan dalam proses mengkaji dan memahami teks suci yang diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.      Apa pengertian terjemah, tafsir, ta’wil dan terjemah tarsiriyah?
2.      Bagaimana metode dan corak Tafsir, serta contoh & kitabnya?
3.      Kapan syarat-syarat dan adab harus dimiliki oleh seorang mufassir?
4.      Dimana sejarah perkembangan Tafsir dimulai sejak masa Nabi sampai masa sekarang masuk di Indonesia?

1.3 TUJUAN

1.      Untuk mengetahui pengertian antara terjemah, tafsir, ta’wil dan terjemah tafsiriyah.
2.      Untuk mengetahui metode dan corak Tafsir, serta contoh & kitabnya.
3.      Untuk mengetahui perbedaan syarat-syarat dan adab harus dimiliki oleh seorang mufassir.
4.      Untuk mengetahui sejarah perkemangan Tafsir sejak masa Nabi sampai masa sekarang masuk di Indonesia.
 BAB II
PEMBAHASAN
2.1   TERJEMAH
Secara bahasa terjemah memiliki beberapa arti, diantaranya : Menyampaikan suatu ungkapan pada orang yang tidak tahu, menafsirkan sebuah ucapan dengan ungkapan dari bahasa yang sama, menafsirkan ungkapan dengan bahasa lain, memindah atau mengganti suatu ungkapan dalam suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain.
Terjemah itu sendiri memiliki 2 macam, yaitu Tarjamah Harfiyah dan Tarjamah Tafsiriyah.
Pengertian Tarjamah Harfiyah adalah memindahkan (suatu isi ungkapan) dari satu bahasa ke bahasa yang lain, dengan mempertahankan bentuk atau urutan kata-kata dan susunan kalimat aslinya. Sedangkan Tarjamah Tafsiriyah adalah menerangkan sebuah kalimat dan menjelaskan artinya dengan bahasa yang berbeda, tanpa memepertahankan susunan dan urutan teks aslinya, dan juga tidak mempertahankan semua Ma’na yang terkandung dalam kalimat aslinya yang diterjemah.
Seorang dapat dikatakan sebagai penerjemah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat dipercaya.
  2. Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan Alquran.
  3. Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik.
  4. Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan memenuhi kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir.

Selain syarat di atas, shighat terjemahan harus benar jika diletakkan pada tempat aslinya dan terjemahann haruslah cocok benar dengan makna-makna dan tujuan-tujuan aslinya, dan penerjemah harus memberikan keterangan pendahuluan yang menyatakan bahwa terjemah Alquran tersebut bukanlah Alquran, melainkan tafsir Alquran.

2.2 TAFSIR
Tafsir tidak sama halnya dengan interpretasi teks lainnya, baik itu teks karya sastra maupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) berarti  “menjelaskan”.[1] Lafal dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran, yang artinya:
                  “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya.” (QS Al-Furqan: 33)
                  Kata tafsir juga berasal dari kata al-fasru (الفسر) yang berarti “menerangkan dan menyingkap”. Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.[2]
Secara bahasa Tafsir mengandung arti antara lain:
o   Menjelaskan (menerangkan), maksudnya: ada sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga terang dan jelas.
o   Suatu keterangan, maksudnya: perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum, sehingga menjadi lebih terperinci, mudah difahami serta dihayati.
o   Tafsiroh, maksudnya: alat kedokteran yang mengungkap penyakit seseorang pasien, maka tafsir bisa dikatakan dapat makna yang tersimpan dari Al-Qur’ an.
Sedangkan menurut para ulama Tafsir memberikan rumusan-rumusan yang berbeda, antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Syaikh Thahir al-Jazairy, dalam at-Taujih: “Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan lafazh yang sukar difahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah”.
2.      Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam Al-Ta’riifat: “Pada asalnya, tafsir berarti membuka dan melahirkan. Dalam pengertian syara’ ialah menjelaskan makna ayat : dari segala persoalannya kisahnya, sababunnujulnya dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang”.
3.      Menurut az-Zarkasyi adalah sebagai berikut: “Tafsir adalah ilmu yang mengakji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, mengeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu yang ada di dalamnya”.
Maka berdasarkan rumusan-rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa: “Tafsir adalah usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafadz-lafadznya agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit difahami menjadi mudah difahami, sehingga Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat difahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.”
Tujuan Tafsir itu sendiri hakekatnya ialah menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur’an yang sebagian besar masih dalam bentuk yang sangat global, memperjelas apa yang sulit difahami dari Al-Qur’an itu sendiri, sarana pendukung pekerjaan menafsirkan Al-Qur’an

     Sasarannya agar Al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan hidayah dari Allah benar-benar berfungsi sebagaimana Al-Qur’an itu diturunkan. Dan upaya menafsirkan Al-Qur’an itu sendiri bukan untuk memastikan yang dikehendaki Allah namun pencaharian makna itu hanyalah menurut kadar kemampuan manusia dengan keterbatasan ilmunya.[3]
         Bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
1. Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasulullah saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in. Dengan kata lain yang dimaksud dengan tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in.
Semua ayat-ayat al-Qur’an telah dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW, sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam menafsirkan al-Qur’an setelah al-Qur`an itu sendiri, kepada para sahabat. Oleh karena itu, untuk menafsirkan al-Qur`an maka metode yang tepat adalah mencari hadis yang berkaitan dengan ayat tersebut setelah tidak didapatkan ayat al-Qur`an yang lain yang menjelaskan ayat tersebut. Apabila memang tidak ada ayat dan atau hadis nabi Muhammad SAW yang dapat menafsirkan sebuah ayat al-Qur`an maka yang digunakan adalah pendapat-pendapat para sahabat karena mereka lebih tahu tentang asbaabun nuzuul dan tingkat keimanan juga intelektualitasnya adalah yang tertinggi di kalangan pengikut Rasulullah saw.
            Setelah tafsir resmi menjadi disiplin ilmu yang otonom, maka ditulis dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi al-Ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sampai kepada nabi SAW, kepada para sahabat, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in. Diantara contohnya:
 a)      Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
Dijelaskan oleh firman Allah dalam (QS. al-Ma’idah:1) yang berbunyi:
      “Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.”
b)      Tafsir al-Qur’an dengan as-Sunnah
Dijelaskan oleh firman Allah dalam (QS. al-Fatihan:7) yang berbunyi:
      “Jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Disini Rosulullah menafsirkan al-Maghdhubi dan adh-Dholin adalah Yahudi dan Nashrani.
            Tafsir bi al-ma’tsur dengan keindahan istinbath dan kemampuan mentarjih, adalah tafsir yang pertama untuk dihargai. Namun demikian kita tidak boleh membatasi diri pada kemampuan mentarjihkan. Untuk mentakwilkan ayat atau beberapa ayat, kita harus kembali kepada beberapa macam tafsir.
            Pada masa kini menggunakan corak bi al-ma’tsur membutuhkan pengembangan, disamping seleksi yang cukup ketat. Pengembangan yang dimaksud adalah tidak sekedar alihkan apa adanya produk penafsiran bi al-ma’tsur karya klasik, tetapi yang lebih penting lagi adalah menyeleksi mana yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan masa kini dan mana yang tidak. Perbedaan sosial kultural yang dihadapi para mufassir sekarang tentu saja menjadikan sebagian hasil penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan kekinian. Ini bertolak dari asumsi bahwa penafsiran Al-Qur’an pada dasarnya adalah usaha mufassir pada sekat tertentu untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian, tafsir seharusnya bersifat dinamis seiring dengan dinamika perkembangan sosio-kultural masyarakat.
 2. al-Tafsir bi al-Ra’yi (pikiran)
Cara penafsiran bil ma’qul yaitu dengan menambahkan fungsi ijtihad dalam proses penafsirannya, di samping menggunakan apa yang digunakan oleh tafsir bil ma`tsuur. Penjelasan-penjelasannya bersendikan kepada ijtihad dan akal dan berpegang teguh kepada prinsip-prinsip bahasa Arab dan adat-istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya.
Husayn al-Dhahaby menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir ra`yi adalah penafsiran Al-Qur`an atas dasar ijtihadnya yang berlandaskan pengetahuannya tentang penuturan bangsa Arab dan arah pembicaraan mereka serta pengetahuannya tentang lafal bahasa Arab dan makna yang ditunjukkannya dengan menjadikan syair jahily sebagai acuan dan panduannya.[4]
al-Tafsir bi al-Ra’yi (pikiran) itu sendiri dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1.      Tafsir dengan pikiran yang tercela (madzum / mardud).
Maksudnya bila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan ministimbatkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at. Yang banyak menggunakan penafsiran bentuk ini ialah tokoh-tokoh bid’ah yang menurut pikiran mereka saja. Umpamanya tafsir Jabba’i, Rummani, Qadhi Abdul Jabbar, Zamakh Syari, dan Abdul Rahman bin Kisan Ashmi.
2.      Tafsir dengan menggunakan pikiran yang terpuji (mahmudah / maqbul)
Maksudnya  bila tidak bertentangan dengan tafsir maktsuur, tafsir ini berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kait berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.
Sedangkan menurut Imam Al-Dzahabi Tafsir bi Al-Ra’yi ada dua:
1. Dengan menggunakan kaidah bahasa arab, akan tetapi tetap mengikuti Al-Kitab dan      sunnah serta tetap mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini diperbolehkan.
2. Tidak memakai kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah ilmu syari’at serta tidak mengikuti kaidah ilmu tafsir. Dan hal ini sangat dibenci dan tidak di terima oleh para ulama’, seperti yang di sampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “akan ada suatu kaum yang mengajak untuk memahami Al-Qur’an, akan tetapi mereka tidak mengamalkannya. Maka wajib bagi kalian untuk mendalami Al-Qur’an, dan menjauhi segala bentuk bid’ah”.
Kitab-kitab tafsir bir ra`yi diantaranya tafsir ar Razi yang berjudul Mafaatihul Ghaib, tafsir Ibnu Hayyan yang berjudul Al Bahrul Muhiit, dan tafsir az Zamakhsyari yang berjudul Al Kasysyaf ‘an Haqaa`iqit Tanziil wa ‘Uyuunil Aqaawiil fii Wujuuhit Tanwil.[5]

3. al-Tafsir al-Isyari
Tafsirul isyari adalah takwil al-Qur’an berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilham-Nya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam al-Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah SWT.
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyar .
Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat
“Dan (ingatlah), ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina."”
 Yang mempunyai makna zhahir adalah:
 “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.[6]

2.3 TAKWIL
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata ‘ail’ yang berarti ke asal, ada juga yang mengatakan bahwa ta’wil berasal dari kata ‘aul’ yang berarti memalingkan, memalingkan ayat dari makna yang dhahir kepada suatu makna yang dapat diterima olehnya. Ta’wil pada istilah mempunyai dua makna; pertama, takwil dengan pengertian suatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara) mengembalikan perkataanya, atau suatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Kalam ada dua macam, insya’ dan ikhbar.salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kata perintah). [7]
Ta’wil al amr adalah Esensi perbuatan yang diperintahkan seperti hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata: adalah Rosulullah membaca didalam ruku’ dan sujudnya subhanallah wa bihamdihi Allahummaghfirli.
Sedangkan ta’wilul ikhbar adalah esensi dari apa yang diberitakan itu sendiri yang benar-benar terjadi. Misalnya firman Allah dalam (QS. al-a’raf:52) yang berbunyi:
“Dan sungguh telah mendatangkan kitab (Qur’an) kepada mereka yang kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan kami atas dasar pengetahuan kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
 Dalam ayat ini Allah menceritakan bahwa Allah telah menjelaskan kitab, dan mereka tidak menunggu-nuggu kecuali ta’wilnya yaitu datangnnya apa yang diberitakan Qur’an akan terjadi, seperti hari kiamat dan tanda-tandanya serta segala apa yang ada di akhirat berupa buku catatan amal, neraca amal, surga, neraka dan lain segalanya.
Menurut pandangan yang masyhur kata Ta’wil sama dengan tafsir yakni menjelaskan dan menerangkan, dengan pengertian kata Ta’wil bisa mempunyai arti:
  • Kembali atau mengembalikan, maksudnya mengembalikan makna pada proporsi yang sesungguhnya.
  • Memalingkan, maksudnya memalingkan suatu lafazh tertentu yang mempunyai sifat khusus, dari makna dzohir ke makna bathin karena ada keterkaitan satu diantara yang lainnya.
  • Mensiasati, maksudnya bahwa dalam lafazh-lafazh tertentu ataukalimat-kalimat yang mempunyai sifat khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan makna yang setepat-tepatnya.[8]
Sedangkan Ta’wil menurut para ulama adalah sebagai berikut:
1.      Menurut Al-Jurzani: “Ta’wil ialah memalingkan lafazh dari maknanya yang dzohir kepada makna lain yang dipunyai lafazh itu, jika makna lain yang dilihat itu sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah.”
2.      Menurut ulama khalaf: “Ta’wil ialah mengalihkan suatu laazh dari maknanya yang rajih kepada makna yang marjuh karena ada indikasi untuk itu.” [9]
Dalam Al-Akhlak wal Wajibat, Al-Maghraby mengemukakan:
Adapun ta’wil ialah bahwa ayat mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang dikanndungnya. Maka ketika engkau sebutkan makna demi makna kepada pendengar, ia menjadi ragu-ragu tidak tahu mana yang harus dipilihnya. Karena itu ta’wil lebih banyak digunakan untuk ayat-ayat mutasyabihat”.[10]
Ayat-ayat mutasyabihat ialah ayat-ayat yang tidak terang maknanya. Menurut ulama mutakallimin adalah ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan Dzat atau Sifat Allah SWT. Kebalikan ayat ini adalah ayat Muhakamat yakni ayat-ayat yang telah terang maknanya dan tegas pengertian yang dimaksudnya.
Ta’wil menurut golongan mutaakhirin adalah memalingkan makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah karena ada dalil menghendakinya. Takwil semacam ini banyak digunakan oleh kebanyakan ulama mutaakhirin, dengan tujuan untuk lebih memahasucikan Allah SWT keserupaan-Nya dengan makhluk seperti yang mereka sangka. Dugaan ini sungguh bathil karena dapat menjatuhkan mereka dalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya aliran mu’tazilah yang menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa Tuhan bersifat jasmani secar teoritis. Dengan kata lain, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan bersifat jasmani diberi takwil oleh muktazilah dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah. Seperti, kata ‘istawa’ dalam surat Thaha ayat 5 ditakwilkan dengan al istila wa al ghalabah (menguasai dan mengalahkan). Ayat-ayat alquran yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat di atas adalah ayat 103 surat al-An’am ayat 23 surat al-Qiyamah. Hal semacam ini mengandung kontradiktif, seperti kata yad ditakwilkan dengan kekuasaan, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat makhlukpun mempunyai kekuasaan.
 2.4 TERJEMAH TAFSIRIYAH
Terjemah menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan yang dimaksud dengan terjemah al-Qur’an adalah seperti yang dikemukakan oleh ash-shabuni, memindahkan al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa arab dan mencetak terjemah dalam beberapa naskah untuk dibaca orang yang tidak mengerti bahasa arab, sehingga ia dapat memahami kitab Allah.
Kata terjemah dapat dipergunakan pada dua arti, yaitu:
1)      Terjemah Maknawiyyah atau Tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat pembicaraaan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan klimatnya, melainkan oleh makna dan tujuan aslinya.
2)      Terjemah Harfiyyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.Terjemah harfiyyah itu sendiri dibagi menjadi dua:       Terjemah Harfiyyah bi l-misli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahasa asli dengan sinonimnya (murodifnya) ke dalam bahasa baru dan terikat bahasa aslinya. Dan Terjemah harfiyyah bi dzuni al-mitsli, yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa asli ke dalam beberapa bahasa lain dengan memperhaitkan urutan makna dan segi sastranya, menurut kemampuan bahasa baru serta kemampuan penerjemahnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dicapai dengan baik. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian kalimat-kalimatnya. Contoh, jumlah fi’liyyah dalam bahasa arab dimulai dengan fi’il kemudian fa’il, baik dalam kalimat tanya maupun yang lainnya, mudlaf didahulukan atas mudhof ilaihi, dan mausuf atau sifat, kecuali dengan idhofah tasybih. Yang mana hal itu tidak dimilki oleh bahasa lain.[11]
 2.5 SYARAT-SYARAT SEORANG MUFASSIR
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam tarjamah, baik tarjamah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya.
2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut.
3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama.
4. Hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.
 2.6 PERBEDAAN TERJEMAH, TAFSIR, TA’WIL DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH
Perbedaan yang cukup mendasar disatu pihak dan terjemah di pihak lain adalah tafsir dan ta’wil berupaya menjelaskan makna setiap kata di dalam al-Qur’an, sedangkan terjemah hanya mengalihkan bahasa al-Qur’an yang dari bahasa arab ke bahasa non Arab.
Sedangkan tafsir dan ta’wil itu sendiri adalah sama kata Al-Maturidy. Tafsir adalah menetapkan apa yang dikehendaki oleh ayat  dan dengan sungguh-sungguh menetapkan, demikianlah yang dikehendaki Allah, maka ada dalil yang membenarkan penetapan itu dipandanglah tafsir yang shohih. Sedangkan ta’wil itu sendiri ialah mentarjihkan salah satu makna yang mungkin diterima ayat, yakini salah satu mutamilad dengan tidak menyakini bahwa demikianlah yang sungguh-sungguh dikehendaki Allah.
Dikatakan tafsir yaitu apa yang terjadi jelas didalam kitabullah atau jelas didalam hadist sohih, artinya itu jelas tampak, ta’wil yaitu apa yang disimpulkan oleh ulama, dalam hal ini ada yang mengatakan bahwa tafsir itu istilah apa yang bersangkut dengan ayat sedangkan ta’wil yaitu, apa yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan, adapun perbedaan terjemah tafsiriyah dengan terjemah, tafsir,dan ta’wil yaitu terletak pada caranya, karna terjemah tafsiriyah hanya berupa salinan dari suatu bahasa ke bahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Adapun untuk lebih memahami perbedaan tafsir dan ta’wil itu sendiri dapat dijelaskan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
TAFSIR
TA’WIL
1.      Ar-Raghif Al-Ashfahani: lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafazh dan kosakata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.
1.      Ar-Raghif Al-Ashfahani: lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah saja
2.      Menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti.
2.      Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
3.      Al-Maturidi: menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan seperti yang dikehendaki Allah.
3.      Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah.
4. Abu Thalib Ats-Tsa’labi: menerangkan makna lafazh baik berupa hakikat atu majaz.
4.      Abu Thalib Ats: menafsirkan bathin lafazh.
  2.7 SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR SEJAK MASA NABI SAMPAI MASA SEKARANG DI INDONESIA
Di antara penafsiran yang diriwayatkan oleh para sahabat ada yang bersumber dari Rasulullah SAW. dan ada yang bersumber dari pendapat mereka sendiri. Namun demikian, dalam memahami al-Qur’an mereka senantiasa berpegang pada penafsiran yang diberikan oleh Rasulullah yang diterima secara langsung ataupun tidak langsung, melalui asbab an-nuzul dan dengan penalaran serta ijtihad.
Munculnya Madzahib al-Tafsir atau aliran-aliran dalam penafsiran al-Qur’an sesunguhnya merupakan salah satu bentuk pluralitas dalam memahami al-Qur’an yang disebabkan oleh adanya dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas.
            Ignaz Goldziher membagi fase sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode. Dimana tiga fase ini merupakan kesimpulan dari karyanya yang berjudul Mazhab Tafsir yang diterjemahkan dari bukunya yang berbahasa Arab Madzahib al-Tafsir al-Islami, yaitu: Periode pertama, Tafsir pada masa perkembangan madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat berpijak Tafsir bi al-Ma’tsur. Periode kedua, Tafsir pada masa perkembangannya menuju madzhab-madzhab ahli ra’yi yang meliputi aliran akidah (teologis), aliran tasawuf, dan aliran politik keagamaan. Dan periode ketiga, Tafsir pada masa perkembangan kebudayaan/keilmuan Islam yang ditandai dengan timbulnya pemikiran baru dalam keislaman oleh Ahmad Khan, Jamalauddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
            Pada periode ini juga munculnya karya-karya tafsir di Nusantara tidak lepas dari unsur-unsur kepentingan yang mewarnai sedikit banyaknya tafsir yang ditafsirkan. Islah Gusmian membagi penafsiran dlihat dari unsure kepentingan menjadi kepada 4 tema: a). Tafsir di tengah rezim islam klasik, b). Tafsir di tengah kampanye kesetaraan gender, c). Tafsir di tengah rezim orde baru dan d). Tafsir di tengah keragaman agama.

            Dibawah akan dipaparkan sedikit tentang pengaruh kepentingan-kepentingan tersebut dalam khazanah tafsir di Indonesia:
a) Tafsir ditengah rezim teologi islam klasik
             Yang terjadi dikalangan umat islam pada generasi pasca Nabi Muhammad SAW, telah melahirkan banyak aliran dalam tubuh unat islam. Al-Syahratsani, dalam al-milal wa nuhal, dengan telah cukup baik merekam sejarah perpecahan sekaligus pertentangan itu .
Hingga saat ini, tema-tema teologis masih saja menjadi bahan diskusi sebagian intelektual muslim. Dua corak teologi islam; Jabariyah dan Qodariiyah adalah salah satu diskursus dalam teologi islam klasik yang menyeruak dalam pemikiran umat islam Indonesia. Bahkan, faham Jabriyah, diduga karena pengaruh paham teori kasb Al-‘Asy’ari, sering dituduh sebagai faham domonan disebagian umat islam Indonesia, meskipun tuduhan ini sepenuhnya benar.
            Lepas dari fenimena itu, klaim-klaim teologis yang berkembang pada era islam klasik memang menarik dibicarakan. Ada tiga karya tafsir yang secara khusus menelisik tema dalam teologi islam klasik islam itu, yaitu; menyelami kebebasan manusia, konsep perbuatan manusia menurut Al-quran dan konsep kufr dalam Al-Quran.
b) Di tengah kampanye kesetaraan gender
          Pada masa ini telah muncul pengaruh yang mendorong lahirnya tafsir dengan tema-tema yang aktual seputar kesetaraan gender. Diantara yang dapat terekam dalam Islah Gusmian yaitu: 1. Perempuan : dicipta dari jenis Adam atau dari tulang rusuknya, 2. Gerak perempuan, dari ruang domestik hingga ruang publik, 3. Perempuan : dari objek yang diwariskan hingga kewarisan berkesetaraan, dan 4. Poligami : melindungi perempuan atau melampiaskan libido laki-laki.


c) Tafsir di tengah rezim orde baru
     1. Yang mengkritik dan melawan
Ada dua karya tafsir yang nyata memberikan kritik dan perlawanan kepada sikap rezim orde baru:
       ~Arah gerakan kaarya tafsirnya ini tak lain sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap rezim orde baru yang otoriter dibawah kendali Soeharto saat itu, meskipun seseorang melakukanya dengan sembunyi. Tapi, dari narasi yang ditulis diatas jelas ada kosa kata yang akrab dalam wacana politik yang ada pada saat itu. Misalnya “kekuasaan yang korup dan tiranik”, “status quo yang penuh dengan ketidak adilan” dan seterusnya, yang semua itu jelas bicara realitas politik yang terjadi pada saat itu. Ketidakfulgarannya dalam mengidentifikasi kekuasaan yang korup itu, karena suasana politik pada saat itu tidak ramah tergadap kritik.
     ~Dalam Cahaya Al-Quran. Dari segi tema dan bahasa yang digunakan, karya tafsir ini lebih lugas dan tegas dalam melakukan kritik. Hal ini terjadi, karena sejak semula merancang tafsir ini dengan pendekatan kontekstual, dimana realitas dan ruang sejarah suatu tempat, menjadi salah satu medan gerak tafsir.
        Model gaya bahasa dan istilah yang lugas yang dipakai di atas jelas mencerminkan semangat perlawanan terhadap suatu rezim yang diklaimnya zalim. Arah dan wacana yang dikembangkan dalam dua karya tafsir diatas telah memberikan semangat kritis sekaligus perlawanan terhadap rezim otoriter. Semua itu tidak lepas dari ruang kognisi sosial pada saat karya tafsir itu ditulis. Ruang kognisi sosial pada saat itu (tahun 1997-1999) telah merefleksikan titik nadir kemarahan masyarakat terhadap Orde Baru.
     2. Yang Bungkam
      ~Karya yang bias diajukan dalam kasus ini adalah wawasan Al-quran karya Quraish. Dalam karya ini terdapat 33 tama yang dianalisis, beberapa tema diantaranya tentang persoalan social ekonomi kemasyarakatan. Dalam tema keadilan misalnya, Quraish dengan baik menguraikan devinisi keadilan dan macam-macam maknanya dalam Al-Quran. Llau, dia menjelaskan dua macam keadilan: keadilan Tuhan dan keadilan social yang dianggapnya akan melahirkan keadilan social. Dalam keadilan sosial, Quraish mengakui bahwa prinsip keadilan sosial adalah memberikan ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk melakukan aktifitasnya dalam rangka mengukir prestasi .
Dalam konteks suasana rezim Orde Baru yang otoriter itu, Quraish menarik dari realitas social dan berlindung dibalik uraiannya yang abstrak tersebut. Dari bahasa yang dipakai, tampak bahwa Quraish sedang melakukan nominalisasi, yang mempunyai efek penghilangan pelaku. Ketika disebut “memberikan peluang kepada setiap orang untuk mendapatkan ruang-ruang aktivitas ekonomi” misalnya, subyek dari peristiwa yang dituntut sebagai syarat terjadinya keadilan social tersebut menjadi tidak kelihatan. Implikasinya, sikap kritis terhadap penguasa, orang kaya, dan kelompok yang menguasai sentra-sentra ekonomi, tidak dijadikan arah politik dari perlunya diberlakukan pemberian peluang yang sama.
ksistensi dan latar belakang Quraish. Sejarah intelektual Quraish muncul dan dibesarkan di Mesir. Setelah meraih gelar doctor ilmu tafsir di Mesir, pada 1982, dia aktif dipelbagai bidang: dikampus menjadi dosen IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diluar kampus menjadi ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) pusat, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional dan ketua umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ruang-ruang social semacam ini memperlihatkan betapa dia cukup dekat dengan birokrasi kekuasaan pada saat itu. Dan, aroma ruang social semacam itu, sedikit banyak, telah ikut mewarnai ceramah-ceramahnya dalam pengajian elit di tahun 1990-an tersebut.
    3. Yang Memuji
      Mari kita lihat fenomena itu dari eksplorasi Quraish ketika menafsirkan ayat kelima surah Al-Fatihah. Dalam kasus ini, dia menjelaskan tentang perbedaan pengertian sunnatullah dengan inayatullah. Yang pertama didefinisikan ssebagai hukum-hukum alam dan masyarakat, seperti hukum sebab-akibat, sedangkan yang kedua merupakan pertolongan Allah yang berada diluar logika hukum alam. Uniknya, ketika menjelaskan tentang pengertian Inayatullah, Quraish menampilkan keberhasilan presiden Soeharto dalam aksi penumpasa gerakan PKI pada 30 September 1965 sebagai salah satu bentuk inayatullah.
       Yang menjadi persoalan dalam konteks ini, bukan pada masalah pengertian Inayatullah, tetapi pengajuan kasus penumpasa PKI yang oleh Quraish dijadikan sebagai contoh. Padahal, seperti yang kita tahu, sejarah tentang gerakan 30 September di Indonesia, ada banyak versi. Dan dalam versi-versi itu, tidak serta merta mengangkat Soeharto sebagai pahlawan dalam penumpasan pemberontakan yang dituduh dilakukan PKI itu. Sebab, kalau toh PKI itu memang salah, karena dianggap memberontak, seorang pahlawan tentulah tidak menyelesaikan persoalan dengan jalan pembantaian tanpa proses pengadilan, seperti yang dialami orang-orang yang dituduh PKI.
      Semua itu terjadi, bias diidentifikasikan melalui asal-usul kemunculan karya tafsir ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bab dua, karya tafsir ini berasal dari hasil ceramah saat acara tahlilan memperingati kematian Ibu Tien Soeharto. Dan pada masa-masa itu, Quraish dikenal sebagai ulama yang sangat dekat dengan keluarga Cendana. Situasi semacam itulah yang membentuk kognisi sosial Quraish untuk memuji Soeharto.
 
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari segi istilah, metode serta coraknya. Terjemah, tafsir berbeda dengan takwi ataupun terjemah tafsiriyah. Jika terjemah hanya mengalihkan bahasa al-Qur’an yang dari bahasa arab ke bahasa non Arab, sedangkan tafsir bermakna menjelaskan maksud dan tujuan ayat-ayat Al-Qur’an, baik dari sisi makna, kisah, hukum, maupun hikmah, sehingga mudah dipahami oleh umat. Adapun Takwil adalah memindahkan lafaz dari makna yang lahir kepada makna lain yang juga dipunyai lafaz tersebut dan makna tersebut sesuai dengan al-Quran dan as-Sunah. Dengan demikian, takwil berarti mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan yang dimaksud dari ayat al-Quran. Begitu juga terjemah tafsiriyah yaitu  memindahkan makna sebuah lafaz dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lainnya. Dengan kata lain, terjemah tafsiriyah adalah memindahkan pembicaraan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain dengan mengungkapkan makna dari bahasa itu.
   Seorang mufassir dapat dikatakun mufassir jika memenuhi adab dan syarat diantaranya yaitu mufassir memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya, mufassir memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut, hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama, hendaknya bentuk (sighat) terjemahan lepas dari bahasa pertama (ashl). Seolah-olah tidak ada lagi bahasa pertama melekat dalam bahasa terjemah tersebut.
            Sejarah perkembangan Tafsir itu sendiri tidak lepas dari perannan dan keikut sertaan setiap manusia itu sendiri untuk mempelajari dan menebarkan tafsir, yang dimulai sejak Nabi SAW itu sendiri masih ada. Para sahabat yang menyadari betapa pentingnya tafsir yang terus berlanjut kepada setiap orang, dan berlanjut terus hingga masuk orde baru dan sampai pada masa sekarang ini.
 DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahalli, Jalaludin dan As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010.
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung; Pustaka Setia,2008.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Semarang, edisi ke tiga,Pustaka Rizki Putra, 2009.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, terj Mabahis Fi Ulumil Quran, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya .Jakarta: CV Penerbit  J-ART, 2005.
Islam, Mujaddidul, Keajaiban Kitab Suci Al Qur’an, Sidayu : Delta Prima Press, 2010.
Mujieb, M. abdul, Riwayat, Turunnya ayat-ayat Suci Al-Qur’an, Surabaya : Mutiara Ilmu, 1986.
Syauqi, Rif’at. Hasan, Ali, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang,1988.
Zuhdi,Masjfuk, 1982,Pengantar Ulumul Qur’an,Surabaya :Bina Ilmu, 1982.



[1]. Rif’at Syauqi, Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1988. Hal. 139
[2] .Rosihan Anwar, Ulum Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, Cet II, 2010, hal. 209
[3] . Rif’at Syauqi, Op,cit. Hal. 140-143
[4] . Ibid, hal. 220
[5] . Ibid, hal. 221-225
[6] . Rif’at Syauqi, Op,cit. Hal. 157
[7] . Rosihan Anwar, Op,cit, hal. 211
[8] . Rif’at Syauqi, Op,cit. Hal. 143
[9] . Rosihan Anwar, Op,cit, hal. 211
[10] . Rif’at Syauqi, Op,cit Hal. 145
[11] . Rosihan Anwar, Op,cit, hal. 213
[12] Ibid hal. 214

Comments

Popular posts from this blog

bagan sejarah aritmetika

Berisikan ruang lingkup, cabang, dan tokoh aritmatika dari tahun 973 - 1429

Berkenalan dengan Al-Qur'an

A.   Pengertian Al-Qur’an             Menurut pendapat yang paling kuat, seperti ya n g telah dikemukakan oleh Subhi Shalih, Al-Qur’an berarti bac a an. Ia merupakan kata turunan (mashdar) kata qara’a (fi’il madli) denga arti ism al-maf’ul, yaitu maqru’ yang dibaca (Al-Qur’an dan terjemahannya, 1990: 15). Pengertian ini merujuk pada sifat Al-Qur’an yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an (Q.S al-Qiyamah [75]: 17-18). Dalam ayat tersebut, Allah berfirman: “ Sesunggahnya atas tanggungan kamilah mengumpulkanya (didadamu) dan (membuat kamu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesaimembacanya, maka ikutilaah bacaan itu.” (Q.S al-Qiyamah [75]: 17-18). { [1] } 1.       Pengertian Etimologi (Bahasa) Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Qur’an dari sisi: derivasi (Isytiqad), cara melafalkan (apakah memaka i hamzah atau tidak), dan me r upakan kata sifat atau kata jadian. Sebagian dari mereka, diantaranya Al-Zujaj, menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an